Sastra merupakan suatu bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari sebuah kehidupan dimana di dalamnya terdapat kata-kata yang indah. Dalam bidang ilmu sastra ada tiga karya yang dihasilkan, yaitu prosa, drama, dan puisi. Puisi merupakan salah satu karya sastra yang memiliki tingkat kesulitas paling tinggi dibandingkan dengan hasil karya sastra yang lainnya. Karena di dalam puisi, seorang penyair dalam menyampaikan sebuah kisah atau kejadian yang sangat panjang dalam satu kata saja. Biasanya di dalam puisi dalam menyampaikan suatu amanat, makna, ideologi ataupun pendapat sang penyair menyampaikannya melalui kode tertentu. Dalam makalah ini akan membahas mengenai puisi Cermin, 1 dan Cermin,2 karya Sapardi Djoko Damono. Pada awalnya, saya tertarik dengan puisi Cermin, 1 karena puisi yang mengangkat sebuah judul cermin sangat menarik perhatian saya. Apalagi satelah diselidiki setelah puisi Cermin, 1 ini ada puisi yang dihasilkan oleh Sapardi Djoko Damono yaitu puisi Cermin,2 yang menimbulkan dugaan bahwa puisi tersebut masih berhubungan atau bersambung. Pada awalnya, Cermin, 1 menimbulkan sebuah prasangka bahwa angka satu yang dipakai sebagai judul dalam Cermin, 1 merupakan simbol yang menyampaikan sesuatu dalam puisi tersebut. Setelah diketahui ternyata ada puisi yang berjudul Cermin,2 yang di duga lanjutan dari puisi Cermin, 1. Dengan kenyataan ini, saya lebih tertarik untuk menelaah puisi tersebut untuk mengetaui apakah sebenarnya puisi Cermin, 1 dan Cermin,2 merupakan puisi yang berkelanjutan atau bahkan tidak sama sekali. Selain itu, judul kumpulan sajak yang digunakan oleh Sapardi Djoko Damono Perahu Kertas yang dicantumkan sebagai keterangan dalam puisi Cermin, 1 dan Cermin,2 merupakan daya tarik tersendiri untuk mengkaji Puisi ini. Karena kita ketahui bersama, Perahu Kertas merupakan salah satu judul sebuah film yang sangat terkenal dan banyak digandrungi masyarakat dimana film tersebut diangkat dari sebuah novel karya Dewi Lestari yang memiliki judul Perahu Kertas. Pada kenyataan tersebut, tentunya timbul sebuah pertanyaan besar mengapa judul kumpulan sajak karya Sapardi Djoko Damono ini memiliki judul yang sama dengan judul film yang diangkat dari novel karya Dewi Lestari. Dengan alasan tersebut, saya tertarik untuk menelaah puisi tersebut dalam kajian saya. Selain itu, dalam kajian ini juga akan membahas mengenai makna puisi Cermin, 1 dan Cermin,2yang dianggap sebagai puisi yang metafisis karena cermin merupakan sesuatau yang dapat menimbulkan bayangan dari benda yang ada di depannya, tetapi hanya bisa menimbulkan banyanangan yang sesuai dengan benda tanpa bisa melakukan apa-apa atau banyangan itu terkurung di dalam dan tidak dapat keluar. Jadi banyangan yang ada di cermin tersebut tidak dapat malakukan apa-apa. Inilah anggapan sementara dari judul yang dipakai oleh puisi ini yang menyebabkan saya menelaah makna metafisis Cermin, 1 dan Cermin,2 dengan dugaan dalam puisi tersebut menceritakan atau menyampaikan sebuah kejadian atau ide yang berhubungan dengan kejadian yang metafisis. Untuk menelaah makna metafisis tersebut, saya menggunakan metode semiotik yang mengartikan simbol-sombol yang ada dalam teks puisi tersebut unutuk mngetahui arti puisi dan menemukan makna yang ada di dalamnya. 1. Makna Metafisis dalam Puisi Cermin, 1 dan Cermin, 2 a. Puisi Cermin, 1 CERMIN, 1 Oleh Sapardi Djoko Damono cermin tak pernah berteriak;ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;barangkali ia hanya bisa bertanyamengapa kau seperti kehabisan suara? Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,1982. Cermin merupakan suatu benda yang dapat memantulkan bayangan yang ada di depannya. Bayangan itu sama persis dengan benda yang ada di depannya. Jika benda yang ada di depan kaca diam maka bayangan yang ada di dalam kaca juga akan diam, jika benda yng di depannya bergerak maka bayangan yang ada di dalam kaca akan ikut bergerak. Walaupun tidak semua kaca bisa merefleksikan benda yang ada di depannya dengan sempurna, karena ada kaca yang merefleksikan bayangan benda dengan arah berbeda atau terbalik. Meskipun terkadang cermin sepertu itu, “cermin tak pernah berteriak;”. Karena bayangan yang ada di dalam kaca selamanya akan diam, apabila kita berteriak dalam bayangan kaca, bayangan itu juga akan ikut teriak tetapi teriak yang tidak mengeluarkan suara. Banyangan hanya menunjukkan bagaimana ekspresi kita pada saat teriak. Karena cermin tak pernah berteriak dia berperan memantulkan bayangan benda yang ada di depannya, cermin itu merupakan benda mati. Cermin itu tidak dapat bersuara meskipun dia harus menampilkan bayangan dri benda yang dia tidak suka. Kenyataan tersebut mengakibatkan “ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,”. Seperti inilah keadaan kaca, walaupun kita memberikan goresan padanya yang dia tidak dapat melakukan sesuatu yang lebih untuk membela atau menyuarakan kesakitan meraung atas goresan tersebut. Dia tidak dapat mengungkapkan perasaan terhisak dan mengespresikan sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan keinginannya yang menyakitinya atau yang membuatnya terluka atau rusak. “meskipun apa pun jadi terbalik di dalamnya;” ini bukan merupakan keinginan cermin untuk membalik bayangan yang dia tangkap tetapi karena dalam suatu proses pemantulannya mengharuskan terjadi sesuatu yang membuat cermin memantulkan bayangan benda secara terbalik. Hal ini memberiakan sebuah kesan “barang kali ia hanya bisa bertanya”. Kaca tidak dapat berprotes, kaca tidak bisa menyuarakan pendapatnya. Walaupun apa yang terjadi terbalik sebuah realitas tidak sama dengan yang ada ada bayangannya, kaca tidak bisa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, kaca sering dianggap “mengapa kau seprti kehabisan suara”. Artinya, kaca tidak bisa menyuarakan kehabisan suara segala sesuatu yang tidak sesuai dengan realitasnya yang mengakibatkan nasip yang buruk, ataupun sagala sesuatu yang tidak kita inginkan yang membuat kita tertekan, menderita kaca hanya bisa membisu. Dari puisi di atas, cermin ini menunjukkan sebuah kehidupan yang memiliki batas untuk bergarak terkekang. Batasan ini bukan merupakan batasan secara fisik saja yang membatasi ruang gerak seseorang dimana kehidupan yang digambarkan melalui kaca ini seseorang hanya bisa bergerak berdasarkan ketentuan yang sudah ditentukan, seperti kaca yang hanya akan memantulkan banyangan benda yang ada di depannya. Pada situasi lain, kaca juga menggambarkan kehidupan seseorang yang dibatasi secara batin juga. Karena cermin “ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,”. Di sini menggambarkan batin juga mengalami tekanan karena tidak dapat mengespresikan sesuatu yang mereka alami. Contoh suatu kejadian yang digambarkan cermin yang mengekang secara fisik adalah sebuah sistem yang dibuat oleh pemerintah. Meskipun sistem yang telah di tentukan oleh pemerintah baik sistem pendidikan maupun sistem yang lain yang ditentukan masyarakat kita tidak sesuai, tetapi sistem itu tetap dipaksakan. Bahkan sisitem yang telah di tentukan tersbut terkadang justru mempersulit keadaan. Contoh suatu kejadian yang digambarkan cermin yang mengekang secara batin adalah wartawan yang hudup pada masa kedudukan bapak Soeharto. Wartawan merupakan insane jurnalistik yang seharusnya menelisisk dan mengkritik segala sesuatu yang terjadi di dalam negara yang sudah tidak sesuai lagi atau menyimpang. Hal ini dilakuakan supaya ada perbaiakan dari kesalahan tersebut. Tetapi pada kenyataannya, kekuasaan yang berada di tangan tirani Soeharto dan adanya berbagai kasus orang yang berani sedikit tidak setuju maka dia akan menghilang. Dengan keadaan yang demikian, segala kasus atau sesuatu yang menyimpang tersebut tersimpan dengan baik dan “barang kali ia hanya bisa bertanya” wartawan tidak dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagai insane jurnalistik. Penjelasan di atas menggambarkan sebua kejadian yang metafisis yang digambarkan melalui cermin yang sudah diuraian di atas. Dimana cermin seharusnya mampu memberikan gambaran kekurangan dari benda yang bayangannya dia pantulkan sebagai koreksi untuk diperbaiki kekurangan tersebut. Apabila ada kelebihan, bayangan cermin juga akan memberikan gambaran secara nyata supaya kelebihan dapat dijaga. Tapi pada kenyataannya, cermin tidak bisa memnjalankan perannya, bahkan cermin mengalami nasip yang tragis sesuai keterangan yang sudah diterangkan di atas. b. Puisi Cermin, 2 CERMIN, 2 Oleh Sapardi Djoko Damono mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;dan cermin menangkapmu sia-sia Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,1982. “mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;” menggambarkan suatu kejadian yang merubah situasi kamar menjadi remang mengabut bahkan tidak bisa di pantulkan bayangan dalam kaca tersebut. Karena keadaan tersebut, “kau” kaget mendadak terhadap perubahan keadaan tersebut. Dan dia mencari bayangan itu di dalam cermin yang tak dapat lagi memantulkan bayangan tersebut. Dalam keadaan ini digambarkan sebuah situasi yang membat tidak tenang, tidak nyaman, was-was dan cemas, menimbulkan rasa takut dalam keadaan yang “mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;”. Pada saat bekaca, “kau” tidak dapat melihat bayangannya karena cermin itu buram. Dia tidak tau di mana posisinya sekarang “kalau kau entah dimana”. Karena sebuah perubahan dimana “kau” tidak dapat menemukan posisinya di mana, seperti apa dia. Terjadi sebuah perubahan usaha menempel di kaca berubah lebih baik atau terlihat baik mengembun untuk mengembalikan keadaan tersebut pada tempatnya semula “kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau”. Menggambar sebuah usaha pendekatan objek yang menjadi sumberdari bayangan terhadap kaca yang dapat menampilakan bayangan sehingga “kau” dapat melihat bayangannya lagi. Usaha itu sia-sia karena usahanya telah tertutup oleh kabut tersebut. Sehingga, “kau memdadak menetes dan terpercik kemana-mana;” embun itu terjatuh dan terpercik menjadi tetesan air menjelaskan sebuah keadaan dimana usaha kebaikan yang dilakukan itu tidak terliahat dan akhirnya terjatuh dan berantakan. Karena, sudah tidak terlihat bayangandalam kaca maka dia tidak dapat mengetahui kekurangannya yang harus ia perbaiki dan dia juga tidak mengetahui kelebihannya yang dapat ia pertahankan untuk untuk melindungi posisinya sehingga dia tidak terjatuh memdadak menetes dan terpercik kemana-mana. Dengan situasi tersebut, “dan cermin menangkapmu sia-sia”. Segala sesuatu yang telah diusahakan pada saat situasi telak berubah mengabut teah sia-sia. Cermin tidak bisa meihat usaha baik yang dilakukan cermin menangkapmu sia-sia. Dari berbagai uraian di atas, dapat ditangkap gambarang seseorang yang berada pada situasi tertentu yang telah mengalami perubahan tidak bisa mendapatkan sesuatu yang membuat dia tetap bertahan. Misalnya seorang pengusa di masa kelamnya tidak mendapat kritik dan saran dari bawahan yang dapat dia jadikan referesi supaya dia tetap dapat menyelesaika masa kelam tersebut, sehingga dapat embantunya keluar dari masalah ya ng mengancamnya. Karena dia tidak mendapatkan hal itu, maka dia jatuh dari posisinya menetes dan terpercik kemana-mana. Dan usaha yang dia lakuakan untuk mendekati bawahannya sia-sia karena sudah dibutakan oleh keadaan cermin menangkapmu sia-sia. Usaha yang sia-sia dan berbagai peristiwa yang telah diuraikan di atas menggambarkan sebuah kajadian yang metafisis. Contoh suatu kejadian yang digambarkan dalam puisi Cermin, 2, dahulu pada saat masa kedudukan bapak Soeharto para wartawan dibatasi ruang geraknya sehingga dilarang memmberitakan penyimpangan yang terjadi pada masa kepemimpinannya. Akibatna banyak penyimpangan yang dilakukan tidak terungkap tetapi langsung di rasakan oleh masyarakat. Seharusnya Soeharto tidak melakukan hal tersebut, karena pemberitaan berbagai penyeimpangan tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki penyimpangan tersebut. Tetapi, karena Soeharto melakukan sebuah peraturan yang mengakibatkan berbagai pihak takut untuk mengatakan sebuak penyimpangan tersebut, Soeharto tidak mendapatkan peringatan dan masukan atas keasalahannya sehingga dia tidak memperbaikinya dan menimbulkan suatu perlawaan yang akhirnya menumbangkan kekusasaannya. Jadi wartawan dan pemberitaan bisa di jadikan sebuah kaca bagi para prtinggi untuk mengoreksi kesalahan yang harus di perbaiki dan terbuka terhadap masukan dankritikan dari berbagai pihak. c. Makna Matafisis Puisi Cermin,1 dan Cermin, 2 Makna metafisi yang terkandang dalam Cermin, 1 dan Cermin, 2, mereka memiliki nasip yang tragis dalam situasi mereka masing-masing. Pada Cermin,1 dimana sebagai cermin yang bertugas member sebuah gambaran untuk benda yang ada di depannya dia tidak dapat menjalankanperan dan haknya sebagai kaca yang member masukan dan kritikan terhadap sesuatu yang tidak baik bahkan menyimpang. Sehingga keadaan ini menimbulkan tekanan bagi kaca, baik seara fisik dan batin. Dalam puisi Cermin,2 menceritakan makna metafisi yang dialami oleh benda yang berkaca tersebut. Karena keadaan telah berubah, dialah yang rugi dengan keadaan tersebut. Walaupun dia telah berusaha untuk mmemberu yang terbaik tetap hal itu telah tertutup olek keburukan skeadaan mengabut tersebut. Tahun yang dituliskan oleh Sapardi Djoko Damono yaitu tahun 1982 memberikan kesan bahwa PuisiCermin,1 dan Cermin, 2 ini menggambarkan keadaan pada masa kedudukan bapak Soeharto yang benar-benar metafisis. Pada cermin, 1 menggambarkan suatu keadaan masyarakat kita yang pada zaman dahulu masa kedudukan bapak Soeharto dipaksa untuk mengikuti peraturan yang beliau terapkan. Banyak masyarakat yang dilarang berpendapat, mengekspresikan ketiadak puasan terhadap suatu keadaan, protes terhadap ketidak adilan, dan berbagai kebebasan masyarakat yang sangat terkekang Cermin,1. Pada Cermin,2 menceritakan keadaan bapak Soeharto sendiri yang telah melakukan berbuatan yang telah diurakan di asatas. Sehingga, karena perbuatannya tersebut, beliau kehilangan kesempatanya untuk melihat bayangannya sendiri. Beliau tidak bisa melihat kekurangan yang dapat menjatuhkan beliau hingga pada saat 1998 belau lengser. Judul kumpulan sajak yang sengaja ditampilkan juga memberi sebuah kesan metafisis terhdap puisiCermin,1 dan Cermin, 2 tersebut. Karena perahu kertas bukan merupakan perahu yang kuat untuk berlayar, dia akan mudah rusak, dan lunak apabila terkena air. Keadaan ini sangat cocok apabila disatukan dengan masa 1982 yang merupakan bagian dari masa orde baru yang sangat metafisis tersebut. Judul sajak yang dicantumkan dalam puiisi yang sempat menarik perhatian karena memiliki persamaan dengan judul film yang diangkat dari novel Dewi Lestari, bisa diangggap bahwa Dewi Lestari pada saat menulis terinspirasi dari salah satu sajak yang tergabung menjadi satu dalam kumpulan sajang dengan puisi Cermin, 1dan Cermin, 2 yang memikili judul yang sama bahkan alur cerita yang sama. 2. Hubuangan Puisi Cermin,1 dan Cermin,2 Berdasarkan urain di atas, maka dapat kita pahami bersama bahwa puisi Cermin,1 dan Cermin,2memiliki keterkaitan. Tetapi, hubungan katerkaitan mereka bukan hubungan yang bahwa puisiCermin, 2 merupakan lanjutan dari puisis Cermin, 1. Karena berdasarkan isi dan makna yang di samapaikan, kedua puisi tersebut menggambarkan dua situasi yang saling lepas tetapi saling mempengaruhi. Seperti hubungan sebab-akibat. Jadi lambang angka yang dipergunakan dalam judul puisi tersebut bukan sebagai penanda bahwa puisi itu bersambung tetapi menandakan puisi itu saling berhubungan nyang menimbulkan hubungan timbal-balik atau sebab akibat. Dimana pusi Cermin, 1 mengambarkan mengenai masyarakat yang diabaikan oleh pemimpinnya, dan Cermin, 2 mengggambarkan akibat pemimpin apabila dia mengabaikan posisi masyarakat dan membuat masyarakat seperti pada gambaran puisiCermin, 2. 1. Simpulan Puisi Cermin, 1 dan Cermin, 2 merupakan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang merupakan salah satu puisi dari kumpulan sajak yang diberi judul Perahu Kertas. Puisi ini memiliki makna metafisis karena di dalam kedua mpuisi tersebut memiliki sebuah cerita kehidupan yang tragis. Makna puisi Cermin, 1 merupakan gambaran kehidupan metafisis seseorang yang seharusnya dapat memberikan sebuah koreksi, masukan, pendapat, kritik dan saran, tetapi dia tak dapat melakukan peran tersebut karena suatu keadan yang tidak memungkinkan. Kejadian ini digambarkan melalui puisi Cermin, 1. Makna puisi Cermin, 1 merupakan gambaran kehidupan metafisis seseorang yang tidak lagi mendapatkan koreksi, masukan, pendapat, kritik dan saran, karena keadaan yang telah berubah. Walaupun seseorang itu telah berusaha memberi kebaikan, hal itu tidak membuatnya mendapatkan yang diinginkan tersebut. Karena lambang tahun yang dimunculkan sebagai keterangan puisi tersebut dapat menjelaskan bahwa puisi ini menggambarkan keadaan pada masa kedudukan bapak Soeharto yang benar-benar metafisis. Pada puisi Cermin, 1 menggambarkan suatu keadaan masyarakat kita yang pada zaman dahulu masa kedudukan bapak Soeharto dipaksa untuk mengikuti peraturan yang beliau terapkan. Banyak masyarakat yang dilarang berpendapat, mengekspresikan ketiadak puasan terhadap suatu keadaan, protes terhadap ketidak adilan, dan berbagai kebebasan masyarakat yang sangat terkekangCermin,1. Pada Cermin,2 menceritakan keadaan bapak Soeharto sendiri yang telah membuat peraturan yang beliau terapkan. Banyak masyarakat yang dilarang berpendapat, mengekspresikan ketiadak puasan terhadap suatu keadaan, protes terhadap ketidak adilan, dan berbagai kebebasan masyarakat yang sangat terkekang. Sehingga, karena perbuatannya tersebut, beliau kehilangan kesempatanya untuk melihat bayangannya sendiri. Beliau tidak bisa melihat kekurangan yang dapat menjatuhkan beliau hingga pada saat 1998 beliau lengser. DAFTAR PUSTAKA Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan. Jakarta Pusaka Utama Grafiti. Natia, I K. 2008. Teori dan Periodesasi Sastra Indonesia. Surabaya BINTANG. Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta Gajah Mada University Press.
Jikadiartikan keseluruhan isi puisinya, penulis seolah menggabarkan dengan sederhana tentang sesuatu yang dimilikinya seperti rumah karena tak lebar luar dan kecil saja dan yang terpenti satu tak kehilangan lain dalamnya yang bermana kita tak akan kehilangan satu sama lain dan berkumpul bersama di dalam. Berdasarkan hal tersebut, maka makna Puisi Cermin Karya Sapardi Djoko Damono Cermin 1 cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernahmeraung, tersedan, atau terhisak, meski apa pun jadi terbalik di dalamnya; barangkali ia hanya bisa bertanya mengapa kau seperti kehabisan suara? Cermin 2 mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari-cari dalam cermin; tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana; dan cermin menangkapmu sia-sia 1980Sumber Hujan Bulan Juni 1991Puisi CerminKarya Sapardi Djoko DamonoBiodata Sapardi Djoko DamonoSapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.Totalitasmakna adalah keseluruhan makna yang terdapat dalam suatu puisi. Penentuan totalitas makna puisi didasarkan atas pokok-pokok pikiran yang ditampilkan penyair, sikap penyair terhadap pokok pikiran, serta sikap penyair terhadap pembaca. Hasil rangkuman dari keseluruhannya itu akan membuahkan totalitas makna dalam suatu puisi.Jakarta - Puisi termasuk salah satu bentuk karya sastra yang banyak disukai karena disajikan dalam bahasa yang indah dan sifatnya yang imajinatif. Bahkan puisi juga dianggap sebagai rangkaian kata-kata yang menggambarkan perasaan Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi juga diartikan sebagai gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara ahli menjelaskan arti puisi dalam definisi yang bervariasi. Seperti dikutip dari buku Sastra Indonesia yang disusun oleh tim Sastra Cemerlang, salah seorang ahli, Sumardi, menyatakan bahwa pengertian puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi padu dan pemilihan kata yang itu, menurut James Reeves, seorang penulis Inggris yang dikenal karena puisi, drama, dan sastranya, mengatakan bahwa pengertian puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh dengan daya PuisiPuisi dibedakan menjadi dua, puisi lama dan puisi baru. Merangkum dari Modul Bahasa Indonesia Kelas X karya Sutji Harijanti, berikut ciri-ciri puisi1. Puisi LamaPuisi lama merupakan puisi yang masih terikat oleh aturan-aturan berikut iniJumlah kata dalam 1 baris dalam 1 rima.Banyak suku kata di tiap puisi lamaTak diketahui nama sastra lisan karena disampaikan dari mulut ke terikat akan aturan-aturan, misalnya seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata ataupun Puisi BaruBerbeda dengan puisi lama, puisi baru merupakan puisi yang tidak terikat lagi oleh aturan, dan bentuknya lebih bebas daripada puisi lama dalam segi jumlah baris, suku kata, ataupun puisi baruMempunyai bentuk yang rapi, akhir yang pola sajak pantun dan syair meskipun dengan pola yang puisi 4 baris atasnya sebuah gatra kesatuan sintaksis.Setiap gatranya terdiri dari dua kata dan 4-5 suku Puisi1. Puisi NaratifDalam puisi naratif mengungkapkan suatu cerita atau penjelasan penyair. Puisi ini terbagi menjadi dua macam, yakni balada dan romansa. Balada adalah puisi yang berisi cerita tentang orang-orang perkasa ataupun tokoh Balada Orang-orang Tercinta dan Blues untuk Bonnie karya WS Rendra. Sedangkan romansa adalah jenis puisi cerita yang memakai bahasa romantik yang berisi kisah percintaan, yang diselingi perkelahian dan Puisi LirikPada jenis puisi lirik terbagi ke dalam beberapa macam, yakni elegi, serenada dan ode. Elegi adalah puisi yang mengungkapkan perasaan duka. Contohnya Elegi Jakarta karya Asrul Sani yang mengungkapkan perasaan duka penyair di Kota serenada merupakan sajak percintaan yang dapat dinyanyikan. Kata "serenada" sendiri bermakna nyanyian yang tepat dinyanyikan pada waktu itu, ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang umumnya tokoh yang dikagumi, sesuatu hal, atau sesuatu keadaan. Contohnya seperti Diponegoro karya Chairil Anwar dan Ode buat Proklamator karya Leon Puisi DeskriptifDalam jenis puisi ini, penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian. Puisi yang termasuk kedalam jenis puisi deskriptif, misalnya satire dan puisi yang bersifat kritik adalah puisi yang mengungkapkan perasaan ketidakpuasan penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan puisi kritik sosial adalah puisi yang juga menyatakan ketidakpuasan penyair terhadap keadaan atau terhadap diri seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidak beresan keadaan atau orang tersebut. Kesan penyairan ini juga dapat kita hayati dalam puisi-puisi impresionistik yang mengungkapkan kesan penyair terhadap suatu itulah pengertian puisi serta ciri-ciri dan jenis-jenisnya. Selamat belajar, ya detikers! Simak Video "Google Sediakan 11 Ribu Beasiswa Pelatihan untuk Bangun Talenta Digital" [GambasVideo 20detik] kri/kri Maknakata cermin dalam puisi tersebut adalah ketidakberdayaan seseorang. Hal ini dapat terlihat dari puisi tersebut , yaitu cermin tak pernah berteriak ; ia pun tak pernah meraung , tersedak ataupun tersiak. Tahu-tahu Elisa sudah menembus kaca dan melompat dengan ringan ke dalam ruang cermin. Lewis Carroll, Elisa Menembus Cermin * MEMBACA puisi-puisi terbaru Ilda Karwayu, kita boleh menduga dia penyair yang sesekali berjalan-jalan ke rumah lama lalu menemukan keriangan baru bermain-main dengan cermin di sana. “Terbaru” di sini lebih merujuk masa publikasi daripada masa kreasi. Puisi-puisi terkait dipublikasikan 14 Januari 2022 di aji krama Puisi-puisi Ilda Karwayu, tetapi berdasarkan tarikh penulisan yang dicantumkan di akhir tiap puisi kita mendapati 6 puisi dimuat semuanya ditulis pada tahun 2021. Dari 6 puisi tersebut kita menemukan 5 “bentuk cermin”, yaitu puisi “aji krama”, “setelah lulus seleksi beasiswa dari negara”, “mata keranjang”, “keluar dari menara gading”, dan “setelah memilih”. pada suaraku terpantul lampulampuidemu, tuhan. tunas sombongmuadalah tubuh hancur. rambati pelanpelanususku yang setebal tali klandalam genitugen dalamklan yang setebal tali ususkupelanpelan hancur rambati tubuh. adalahsombongmu, tuhan. tunas idemuterpantul pada lampulampu suaraku“aji krama” Kalau kita menggambar garis-garis berdasarkan tipografinya, kita akan menghasilkan tampilan kira-kira seperti ini Kita boleh mengatakan tampilan tersebut menggambarkan orang berbicara, kesan selaras subjek utama puisi terkait suara. Puisi semacam ini bisa dan biasa dikategorikan puisi berpola atau puisi konkret pattern poetry atau concrete poetry, yakni puisi yang susunan tipografisnya membentuk gambar tertentu. Penyusunan bentuk tipografis puisi konkret biasanya disesuaikan dengan tema, teknik yang pernah tren dalam perpuisian kita pada era Puisi Mbeling. Namun, puisi “aji krama” tampaknya tidak berhenti pada sekadar penyusunan visual melalui tipografi sebagaimana juga tidak ada gelagat puisi ini untuk menjadi bagian dari mbelingisme jenis apa pun. Dari sebelas baris puisi, kata-kata dan frasa pada baris 7-11 merupakan kata-kata dan frasa yang juga kita temukan pada baris 1-5 dengan posisi sintaktis berbeda dan cenderung terbalik. Dengan kata lain, sebuah repetisi. Repetisi tentu bukan sesuatu yang baru ataupun aneh dalam puisi, baik dalam puisi Ilda ataupun dalam puisi penyair lain. Juga bukan hanya dalam puisi. Berbagai varian repetisi merupakan alat retorika ampuh yang juga bisa ditemukan baik dalam kitab suci, pidato-pidato Soekarno, ataupun lirik-lirik lagu Iwan Fals. Keberadaan puluhan varian repetisi memungkinkan sangat luasnya cakupan efek yang ia timbulkan. Repetisi biasa dibagi menjadi 4 kelompok besar, repetisi pada tataran huruf, suku kata, dan fon; repetisi pada tataran kata; repetisi pada tataran klausa dan frasa; dan repetisi pada tataran gagasan. Jadi, 5 baris terakhir dalam “aji krama” bisa dikatakan memuat repetisi 5 baris pertama, pada level kata dan frasa, sementara baris 6 yang hanya tersusun dari satu kata, merupakan garis tengah. Berhubung sisi berbeda yang dipisahkan oleh garis tengah tersusun dari kata-kata yang sama dalam posisi sintaktis berbeda tetapi tetap membentuk tipografi puisi yang sama secara terbalik, maka kita bisa mengatakan bahwa garis tengah itu berfungsi seperti cermin, satu sisi merupakan pantulan sisi yang lain. Dengan demikian, jika tampilan visual puisi “aji krama” digambar berdasarkan pola penulisannya maka hasilnya menjadi seperti ini Pola senada bisa ditemukan dalam puisi-puisi “cermin” Ilda yang lain dengan tipografi menyusun bentuk bervariasi. Terkadang kita tak menemukan rujukan bentuk “sepasti” puisi “aji krama”, melainkan lebih terlihat sebagai bentuk geometris yang rapi. Demikian juga bagian diposisikan sebagai cermin bervariasi. Pada puisi “setelah lulus seleksi beasiswa dari negara” kita mendapati cermin itu berupa baris tersusun dari satu kata seperti dalam “aji krama”, sementara dalam puisi “keluar dari menara gading” kita mendapatinya berupa satu baris tersusun dari lima kata dan menjadi satu-satunya baris dalam puisi yang tidak memiliki jeda kosong. Akan tetapi dalam “mata keranjang” dan “setelah memilih”, kita menemukan cermin itu dalam bentuk baris kosong penanda peralihan antar pembacaan dari awal terkait pola cermin Ilda, boleh jadi ada kesalahan tipografis pada penayangan puisi “setelah memilih” yang dibagi menjadi 3 bait tersusun dari 3 baris bait pertama, 1 baris bait kedua, 2 baris bait ketiga. Penulisan puisi tersebut menggunakan pola cermin, yakni baris 4-6 tersusun dari kata-kata sama dengan baris 1-3 dengan susunan sintaktis berbeda, maka boleh diduga puisi ini lebih pas kalau ditayangkan tersusun dari dua bait dengan masing-masing tersusun dari 3 baris dan baris kosong di tengah-tengah yang memisahkan antar bait antara baris ketiga dan keempat berfungsi sebagai cermin. Lantas, sejauh mana penggunaan pola cermin ini memengaruhi pengembangan makna? Apakah sisi di balik cermin menawarkan gagasan kebalikan dari sisi di depan cermin? Ataukah justru dengan caranya sendiri menguatkan atau melanjutkan? /1/yang memandang dari ketiadaan bolehmenaruh matanya dalam keranjang /2/ keranjang menaruh matanya dalamketiadaan dari yang boleh memandang“mata keranjang” Bait pertama yang kita posisikan sebagai sisi di depan cermin mengandaikan subjek “dia” sebagai sosok aktif, dia menaruh matanya. Dalam bait kedua, sisi di balik cermin, peran itu dibalik, “keranjang” berada di posisi aktif menaruh matanya. Pembalikan itu mau tidak mau mengakibatkan perubahan objek kalimat pula, yakni jika pada bait pertama objek yang ditaruh, “matanya” merupakan mata “dia” imajiner, maka dalam bait kedua objek “matanya” menjadi merujuk pada mata “keranjang”. “Dia” dan “keranjang” merupakan dua subjek kalimat yang berbeda. Ada banyak kemungkinan makna “memandang dari ketiadaan”, tetapi jika kita memilih salah satu kemungkinan, bahwa klausa itu merujuk pada “dia yang tidak berhak memandang” pilihan yang lebih sesuai konteks—meski bukan berarti satu-satunya yang mungkin—daripada “ketiadaan” sebagai negasi subjek, ketiadaan dia yang memandang, maka bait itu bisa dimaknai sebagai pernyataan negasi terhadap pandangan si dia. Dengan kata lain, pandangan atau “tatapan”, mengindikasikan tindakan melihat dalam waktu yang agak lama, supaya tidak dikelirukan dengan “pandangan” yang bisa berarti “pengetahuan” atau “pendapat” si dia dinihilkan dengan kurungan, “keranjang”. Sementara pada bait kedua tempat “keranjang” menjadi subjek kalimat, jika kita memaknai “matanya” merujuk pada “mata keranjang” dan bukan “mata dia” imajiner yang merupakan subjek kalimat pada bait pertama, maka kita bisa memaknai “ketiadaan dari yang boleh memandang” sebagai “tiadanya orang yang berhak memandang”. Dengan kata lain, meski terlihat sebagai negasi, bait ini justru menunjukkan posisi aktif “mata keranjang” yang sudah berubah menjadi idiom sebagai mata yang memandang di saat mata yang berhak memandang justru tidak ada. Jadi, meski terjadi pembalikan sintaktis subjek, subjek yang dirujuk oleh arti kalimat itu sendiri pada dasarnya sama “dia imajiner yang memandang dari ketiadaan” adalah subjek yang sama dengan “mata keranjang”. Hal ini dimungkinkan oleh sifat idiom sebagai konstruksi pemilik makna berbeda dari unsur penyusunnya. Ketika klitik “-nya” dalam “matanya” pada baris kedua, berdasarkan konstruksi kalimat, merujuk pada “keranjang” sebagai subjek sehingga menjadi “mata milik keranjang”, konstruksi tersebut pada saat yang sama menciptakan idiom “mata keranjang” yang memiliki makna berbeda. Dengan demikian, dalam puisi ini sisi di balik cermin bait kedua memang menyajikan tampilan visual terbalik, tetapi gagasan yang disajikan oleh kata-kata yang sama dalam posisi-posisi berlainan tetap merupakan sambungan lebih lanjut gagasan yang dimuat dalam sisi di depan cermin bait pertama. Repetisi yang membentuk cermin tampaknya merupakan teknik lanjutan Ilda sebagai penyair yang cenderung sadar-bentuk. Kecenderungan tersebut sudah terlihat dalam puisi-puisi Eulogi PBP Publishing, 2018 dan makin menguat dalam Binatang Kesepian dalam Tubuhmu GPU, 2020, salah satunya tampak dari penciptaan jeda kosong tambahan antar kata. Teknik jeda kosong tersebut khas tradisi-tulis dan tak bisa sepenuhnya ditampilkan ketika puisi terkait dilisankan. Akan tetapi bukan berarti jejak kelisanan lantas sama sekali raib dari puisi-puisi Ilda. Sebaliknya, diksi dan repetisi yang hadir justru menampakkan kelekatan dengan aspek fon, bunyi, misalnya repetisi “tuhan. tunas” pada baris kedua diulang dengan bentuk sama pada baris kesepuluh puisi “aji krama” merupakan bentuk aliterasi, satu jenis repetisi tertua yang didasarkan pada ketukan dan memberi efek bunyi, demikian juga repetisi “sumbing” dan “sumbang” pada baris kesatu dan kedua puisi “keluar dari menara gading” diulang secara terbalik pada baris keempat dan kelima, merupakan konsonansi yang memberi efek bunyi. Tentu kita boleh menduga bahwa kelekatan itu juga hadir karena penyairnya memiliki ketertarikan khusus pada musik. Ketertarikan itu pula mungkin yang menyebabkan dalam pemenggalan baris-baris puisinya kita kerap—untuk tidak mengatakan selalu—menemukan perhatian khusus terhadap jumlah Kumpulan Puisi adalah buku antologi puisi pertama Ilda Karwayu, memuat 50 puisi dengan puisi terlama bertarikh 2012 dan terbaru 2017. Binatang Kesepian dalam Tubuhmu adalah buku antologi puisi kedua, memuat 67 puisi dengan puisi terlama bertarikh 2018 dan terbaru 2019. Beberapa catatan awal tentang puisi-puisi dalam Binatang Kesepian dalam Tubuhmu, termasuk tentang kekhasan visual dan ketukan bisa dibaca di Masih Haruskah Kita Santun Memaki Para Singa?. Maka boleh dikatakan pada puisi-puisi cermin Ilda kita bisa melihat terutama dua efek penggunaan repetisi. Pertama, repetisi memengaruhi sisi visual, tampilan bentuk. Kedua, repetisi menghasilkan efek puitis sekaligus memengaruhi makna. Pada akhirnya, karena sisi visual berpotensi memberi kunci untuk pemaknaan puisi, puisi pun menjadi utuh karena struktur puisi yang menciptakan bentuk dan dengan demikian aspek visual menopang konten. Keutuhan semacam itu, dari sudut pandang strukturalis, merupakan ciri puisi bagus. Kita tidak menemukan pola cermin dalam puisi-puisi terbaru Ilda yang lain, dipublikasikan 11 Januari 2022 di puisi-puisi ilda karwayu. Tiga puisi ditulis pada tahun 2020, 1 puisi tahun 2021, 2 puisi tahun 2022. Akan tetapi saat mundur sedikit, kita akan menemukan pola puisi yang mirip dalam 2 dari 4 puisi Ilda yang dipublikasikan 28 Agustus 2021 di Jawa Pos, Sajak Ilda Karwayu, “The Taste of an Affair” dan “Bangun Tidur Masa Kini”, dua-duanya bertarikh sedikit perbedaan tampilan antara versi daring dan versi cetak. Tulisan ini mengikuti versi cetak sebagai versi yang lebih stabil. potong adegan mesra pada klip video mimpimu, tuantampakkah umami di lidah embun sepukul lima ini?tanda2gurih kejadian telah matang siap saji di atas pengakuandi atas gurih kejadian pengakuan telah matang siap sajidiam2adegan mesra tuan potong pada klip video mimpimusepukul lima ini umami di lidah embun, tampakkah?“The Taste of an Affair” cuci muka pakai sinyalinternet lancar pagi inikata ibuku taditidak seperti subuh haritersendat oleh peronda-rondamuda yang ramai berselancar berselancar ramai yang mudatersendat oleh peronda-rondasubuh hari tidak sepertiibuku tadi katapagi ini lancar internetsinyal pakai cuci muka“Bangun Tidur Masa Kini” Puisi-puisi cermin semacam itu juga tidak kita temukan dalam Binatang Kesepian dalam Tubuhmu, meski kita akan menemukan penggunaan salah satu aspek yang membangunnya, yaitu kehadiran jeda ruang kosong tambahan antar kata. Puisi-puisi Ilda yang dari segi gaya lebih dekat dengan puisi-puisi dalam antologi ini bisa kita temukan dalam 5 dari 6 puisi Ilda di Uniknya, kita justru akan menemukan “leluhur” puisi cermin dalam Eulogi Kumpulan Puisi Pindaian puisi “Gelang Giok” hal. 27 Tampilan visual puisi ini agak janggal dengan adanya jarak antara baris ke-1 dengan baris ke-2 yang lebih sempit dari jarak antar baris lain. Jika mengabaikan kejanggalan itu maka kita melihat pola penyusunan mirip per 2 baris baris genap disusun dengan menurunkan kata atau frasa yang memberi penekanan dan masih terkait secara sintaktis dengan baris sebelumnya dalam mode larik sambung. “Gelang Giok”, “yang berdarah”, dan “takdir” pada baris ke-2, 4, dan 6 menjadi kata dan frasa kunci, dengan penempatan masing-masing bergerak makin bawah makin menjauh dari marjin kiri menyimbolkan perjalanan takdir yang maju melewati momen menyakitkan dan sedikit banyak “diobati” oleh “gelang giok”, benda yang tampaknya memiliki nilai khusus karena muatan historis yang ia kandung. Namun, boleh jadi baris ke-2 sebenarnya masih merupakan bagian dari baris ke-1 dan diturunkan semata karena tuntutan sempitnya tata letak halaman buku. Dengan kata lain, tipografi puisi tersebut lebih mungkin dimaksudkan seperti ini Taruhlah kita sepakat untuk menjajaki kemungkinan tersebut, tanpa mengabaikan kemungkinan bahwa satu-satunya penyebab permasalahan terkait perbedaan jarak antar baris di atas adalah kekeliruan penata letak dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan proses kreasi puisi, maka kita bisa mengatakan bahwa meski bertarikh 2016, pola persajakan puisi ini sangat mirip dengan pola-pola cermin yang sudah dibahas. Akan tetapi pola cermin dalam puisi ini berada pada tataran lebih sederhana. Setengah baris pertama misalnya merupakan repetisi terbalik dari setengah baris sebelumnya, dengan makna sama tetapi susunan sintaktis berubah mengindikasikan perubahan penekanan keterangan tempat dengan subjek. Pada baris kedua, “titik mata” mengalami repetisi yang memberi efek penekanan, sebagaimana “menabrak takdir” yang mengalami repetisi melibatkan pemenggalan menghasilkan larik sambung pada baris keempat dan kelima. Diksi “merah”, “berdarah” dan “menyerah” juga merupakan repetisi yang membentuk rima. Bisa dikatakan bahwa pola-pola cermin pada puisi-puisi Ilda yang lebih baru tampak sebagai elaborasi lebih lanjut dari puisi ini, dibuktikan dengan pengolahan dan perluasan berbagai repetisi, posisi kata, dan juga tipografi sehingga efek-efeknya pun lebih beragam daripada dalam “Gelang Giok” yang cenderung terbatas memberi efek penekanan dan bunyi. Pola cermin seperti ini menarik, tetapi bukan tanpa risiko. Dalam pelbagai kebudayaan, cermin dianggap sesuatu yang sakral, mistis. Cermin biasa dianggap sebagai gerbang menuju “dunia di sisi lain”, sebagaimana juga sebaliknya. Keyakinan semacam itu dipahami secara literal dalam berbagai cerita mistis yang masih bisa—atau justru semakin banyak—ditemukan sekarang ataupun dimaknai secara simbolis dalam salah satu prosa paling memukau di dunia karya Lewis Carroll Alice Through the Looking-Glass Elisa Menembus Cermin’. Maka dalam satu puisi cermin Ilda kita bisa temukan dua dunia “gagasan” ataupun “gagasan-gagasan”, tersusun dari kata-kata kembar tetapi dalam posisi saling tertukar. Tersesat dalam dunia kata-kata semacam itu bisa menyebabkan kebingungan, seperti para pelaut yang mendengar nyanyian Siren bentuk dan bunyi memesona rasa, lantas rasio enggan memandu menuju makna. Namun, risiko tersebut tidak sepenuhnya buruk, karena puisi kontemporer hadir pertama-tama untuk dinikmati, bukan untuk menjejalkan arti. Selain itu, dari sekian pembaca pasti ada mereka yang seperti Odisseus rasa dia menikmati bentuk dan bunyi tetapi rasionya tetap mampu melanjutkan perjalanan, menuju arti. Selain itu, ada baiknya kita merenungkan kata-kata Paul Valéry yang Hasif Amini kutip dalam catatan penyerta antologi puisi Goenawan Mohamad, Tujuh Puluh Puisi Tempo & PT Grafiti, 2011, “Dari Lirik Menuju Khaosmos’” bahwa puisi adalah “bimbang yang tak putus-putus antara bunyi le son dan arti le sens”. Pada akhirnya, pembacaan ini hanya tinjauan sepintas, bukan pemetaan tuntas proses kreatif terbaru Ilda Karwayu sebagai penyair, pun tanpa berpretensi menjadi kebenaran tunggal. Seorang penyair yang baik selalu memiliki kesadaran untuk tanpa henti meninjau ulang relasinya dengan kata sehingga pemetaan proses kreatifnya tidak mungkin dilakukan secara tuntas pada saat dia masih produktif berkarya. Kesadaran penyair semacam itu berpotensi membuat pembaca menanti-nanti karyanya, karena hanya penyair seperti itu yang akan melahirkan karya-karya segar, jauh dari kecenderungan menjadi epigon. Maka mungkin saja kini dan kelak Ilda mendadak menulis puisi-puisi epik atau balada panjang misalnya, jenis puisi yang akan mengejutkan kita kalau dia mencoba menulisnya karena tak tampak tanda-tanda akan menuju ke sana dalam puisi-puisinya selama ini. Atau kita mungkin juga mengintip bocoran puisi “pascakontemporer” dia melalui salah satu puisi bertarikh 2022 yang dipublikasikan di Kita boleh menduga “bentuk lain” yang unik ini merupakan elaborasi lebih lanjut lagi dari “lompatan ringan” Ilda ke dalam ruang cermin yang dia lakukan sambil membayangkan para pembaca puisinya berpindah-pindah menikmati “bunyi dan arti” dalam dunia Elisa, “tanpa henti”. Saya bayangkan saat itu dia tersenyum meski pada saat yang sama dia asyik sendiri menebak-nebak apakah di depan sana dia harus belok kanan atau jalan terus. Salam. Yogyakarta, Akhir Januari 2022
Puisi adalah suatu karangan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan mengutamakan keindahan kata-kata. Kata cermin yang bercetak miring pada puisi bermakna kenyataan di dunia, karena cermin merefleksikan kenyataan yang ada dalam diri seseorang yang bercermin. Maka Cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah Meraung, tersedan, atau terisak Sama dengan Kenyataan di dunia tak pernah berteriak; ia pun tak pernah Meraung, tersedan, atau terisak Dengan demikian, jawaban yang benar adalah pilihan D..